Layangan 'Singit'
Layang-layang adalah satu di antara permainan tradisional yang sudah sangat dikenal. Murah harganya dan mudah memainkannya. Bagi para p...
https://alfatihschool.blogspot.com/2015/03/layangan-singit.html
Layang-layang adalah satu di antara permainan tradisional yang sudah sangat dikenal. Murah harganya dan mudah memainkannya. Bagi para pecandunya, bisa tahan berlama-lama menarik dan mengulur benang sambil menatap langit biru. Layang-layang atau layangan ini bukan hanya dikenal di sini, di luar negri-pun permaianan layangan-layang sudah cukup dikenal. Bahkan dalam even tertentu ada lomba tingkat nasional dan internasional.
Layang-layang biasanya dibuat dari bahan kertas, bamboo yang diserut dan benang. Beragam warna, bentuk dan ukuran bisa dibuat. Dari yang kecil sampai ukuran jumbo. Dari yang murah sampai yang mahal. Dari yang sederhana terbuat dari kertas polos sampai yang indah penuh lukisan cantik. Dari yang seperti belah ketupat saja sampai yang berbentuk burung, naga, dan aneka bentuk lainnya.
Di kampong saya semasa kecil dulu, ada yang disebut layangan koang. Keistimewaannya bisa berbunyi kala diterbangkan ke udara. Ada semacam pita yang dibentangkan diantar dua sisinya. Dan mengeluarkan suara jika hembusan angin bertiup kuat. Ukurannyapun lebih besar dari layangan biasa. Kertasnyapun harus yang lebih kuat semisal kertas minyak, begitupun kerangka dan benangnya.
Ada juga layangan kecil yang terbuat dari daun umbi gadung, sejenis umbi hutan beracun. Namun bisa dan biasa dikonsumsi penduduk dengan merendamnya beberapa hari di sungai untuk membuang racunnya. Daun yang sudah kering dari umbi ini biasa kami jadikan layangan waktu semasa kecil dulu.
Saat membuat layang-layang, faktor keseimbangan yang pertama diperhatikan. Meraut bamboo sampai sekecil mungkin tapi tetap harus kuat. Agar tidak patah menahan tiupan angin dalam waktu lama. Dan ketika memainkannya, menaikannya ke udara, factor keseimbangan ini juga yang menjadi kuncinya. Kalau tidak seimbang layangan akan sulit naik ke atas, pasti miring ke kanan atau ke kiri. Atau berputar-putar saja seperti baling-baling kipas angin. Orang Betawi menyebut istilah itu dengan singit. Keadaan layangan yang tidak seimbang atau berat sebelah.
Dalam kehidupan, layang-layang bukan sekedar simbul hiburan dan kesenangan, tapi juga sebuah potret keselarasan dan keseimbangan. Ia akan normal terbang ke angkasa dan asik dimainkan kala ukurannya seimbang. Hanya dengan tarikan mudah dan kedutan ringan ia muluncur deras ke angkasa dibawa angin. Keseimbangan itulah yang membuatnya terbang ke angkasa. Meski anginnya kuat, keseimbangan mampu membuatnya bertahan. Jiwa yang seimbang akan mudah mendekat ke Allah. Ringan meski berpayah-payah dalam taat dan ibadah. Jiwa yang seimbang seperti melayang dalam kenikmatan menuju Rabb. Bergembira dalam ketinggian dan kemuliaan.
Sebaliknya, jiwa yang tak seimbang seperti layangan singit. Berputar-putar tak bisa naik ke angkasa. Tertipu amalannya yang payah karena nafsu. Semakin ditarik semakin serong ke samping. Sulit sekali diarahkan ke atas, menuju ke ketinggian, ke kemuliaan. Jiwa yang singit lebih suka menghabiskan waktunya untuk dunia. Mengukur derajat dirinya dengan jabatan. Menimbang status dirinya dengan materi. Membungkus prestasi dengan puja puji. Bahkan mengemas kebenaran dengan bualan dan bungan-bungan lisan.
Jiwa yang singit menggerus naluri kemanusiaannya semakin ke tepi. Sehingga kesucian fitrahnya kian tercemari. Jiwa singit terus saja mempengaruhi, Sehingga nafsu fujurnya mendominasi. Dan nilai taqwanya semakin hilang tersembunyi. Jiwa singit memilih mana yang bisa menguntungkan diri sendiri. Menolak yang dianggap mengurangi jumlah materi. Jiwa singit mampu menipu siapa saja, karena piawai sangat berargumentasi, lihai sungguh berbasa-basi, seakan yakin takan direkam Ilahi.
Bermain layang-layang itu sendiri seperti gambaran kita menjalani hidup dan kehidupan. Agar layang-layang bisa terbang mudah di udara maka harus tahu sumber angin berhembus. Tanpa angin, mustahil layangan akan naik ke udara. Dari mana mengetahui arah angin? Tak perlu ilmu khusus untuk itu, karena secara naluri kita sudah mengenali angina sejak bayi. Begitu pula untuk meninggikan derajat jiwa kita, kuncinyapun harus mengetahui sumber kebenaran berasal. Tanpa mengenali kebenaran hakiki, takan mungkin jiwa meninggi menuju ke kemuliaan. Ia hanya akan terbenam di kubangan lumpur nan kotor. Bagaimana mengetahui kebenaran? Tak perlu ilmu khusus untuk mengenalinya, karena fitrah jiwa kita sudah melekat bersamanya sejak dalam rahim bernyawa.
Untuk jiwa-jiwa yang singit, buatlah seimbang ; teguhkan niat, jagalah ucapan, pelihara kelakuan, tebar salam dan senyuman. Perbanyak husnudzon, perbanyak doa dan dzikir. Jangan lupa sodaqoh. Beri makan orang yang kelaparan, buat sebanyak mungkin manfaat pada orang lain. Insya Allah terbuka surga yang dijanjikan.
Dago, 7 Februari 2015
Penulis : Ust. H. Dwi Fahrial, Founder Al-Fatih Foundation.
Dago, 7 Februari 2015
Penulis : Ust. H. Dwi Fahrial, Founder Al-Fatih Foundation.