Arif Dan Bijaksana
Oleh : Ust. H. Dwi Fahrial , Founder Al-Fatih Foundation. Arif dan Bijaksana. Dua kata itu sedap sekali jika dikaitkan d...
https://alfatihschool.blogspot.com/2015/03/arif-dan-bijaksana.html
Oleh : Ust. H. Dwi Fahrial, Founder Al-Fatih Foundation.
Arif dan Bijaksana. Dua kata itu sedap sekali jika dikaitkan dengan pribadi seseorang. Lebih khusus lagi seorang pemimpin. Dua sifat yang begitu maknyos terasa direlung hati kita. Biasanya yang terbayang adalah sifat yang lembut tapi berwibawa. Juga akrab tapi penuh ketegasan. Kejujuran dan keikhlasan-pun kental sangat terlihat dari sorot matanya. Dan imajinasi kita biasanya menangkap wujud orang yang berusia dewasa sebagai potret orang yang memiliki sifat arif dan bijaksana itu. Bisa saja berbeda memang, tetapi mencari wujud arif dan bijaksan pada usia muda sepertinya seribu satu.
Kearifan, barangkali terkait dengan kematangan usia, namun lebih-lebih lagi pada kematangan jiwa,ilmu dan pengalaman. Kadang usia bertambah tak membuat seseorang matang dalam pengalaman. Bertambah ilmu-pun kadang tak membuatnya semakin matang jiwanya. Maka kearifan-lah yang membuat potensi kemanusiaannya berkembang dan matang. Prosses menuju kearifan biasanya ditarik oleh waktu yang berjalan. Tinggal bagaimana proses itu diserapnya sebagai sebuah pembelajaran. Pada kenyataannya bisa saja kearifan dan kebijaksanaan disandang di usia muda, meski jarang. Kebanyakan yang terjadi adalah sebuah kenormalan, bahwa usialah yang membuatnya matang dalam kearifan. Kematangannya teruji dari caranya melihat, berkata dan berbuat. Kata-katanya-pun nyaman didengar. Dan interaksinya gurih dirasa. Maka akan terlahir sikapnya yang sedap dinikmati.
Contohnya seperti guru yang mengeluti profesinya selama 20 tahun. Dia bisa menjadi guru hebat yang berpengalaman atau hanya menjadi guru memble yang kelamaan. Dari sisi usia, dua jenis guru itu beda tipis saja, sama-sama 20 tahun bergelut dengan profesinya, Tapi dari sisi profesional kerja, perbedaanya sangatlah jauh . Seorang guru yang berpengalaman akan banyak menyerap ilmu dan nilai-nilai kearifan dalam perjalanan hidupnya. Ia akan kinclong dan bersinar bak mentari, kepada orang lain bisa banyak memberi. Namun guru yang kelamaan, bertambah usia semakin berkarat menunggu waktu habis. Menuntaskan kerja menjadi hamba periuk nasi. Hanya ribut dengan urusan dan kepentingannya sendiri.
Adapun kebijaksanaan, mungkin berhubungan dengan kemampuan dan keluasannya memecahkan masalah. Hulu dan hilir dilihat dan didalaminya. A sampai Z dikupas dan dikulitinya. Sebab dan akibat digali sampai kedasarnya. Dan informasi ditelisik hingga sampai ke sumbernya. Sehingga tampilan objek yang dikajinya menjadi utuh dan menyeluruh. Hal itu akan membuat matanya terang dan hatinya benderang. Saat memutuskan perkara, tidak ragu, cepat dan tepat. Meski masalah terlihat ribet, baginya asik asik saja. Seperti menyelesaikan papan puzzle yang sudah dihafalnya. Komponennya bertebaran kemana-mana, tapi dengan tenang disusunnya dengan dingin saja satu persatu hingga sempurna.
Pasti nikmat sekali bertemu orang yang tipe-nya seperti ini. Arif dan bijaksana. Tentu saja dia bukan Nabi. Atau pribadi tanpa kesalahan sama sekali. Namun bedanya, Jika ia salah atau keliru, sungguh alami sekali ia mengaku salah dan tulusnya ia meminta maaf. Setiap kali bertemu seakan mendapat amunisi. Kata-katanya menjadi energi. Dan arahannya menjadi motivasi. Orang tipe ini benar-benar menjadi guru sekaligus teman belajar yang menggairahkan.
Ilmu yang membuat kearifan dan kebijaksanaan tumbuh subur makmur. Seperti air yang menyegarkan kala dahaga kehausan. Sepeti hujan yang menumbuhkan tanah yang kerontang kekeringan. Hubungan kearifan dan kebijaksaan dengan ilmu sesungguhnya saling menghidupkan, saling menguatkan dan saling memberi kebaikan. Namun, seorang berilmu akan terlihat pandir dalam deretan gelar akademik, kala kearifan dan kebijaksanaan menjauhinya. Melihat masalah kecil menjadi besar, masalah besar seakan ringan saja. Maka solusinya menjadi kacau. Mestinya sederhana saja malah jadi rumit. Mestinya bisa cepat malah berlarut-larut. Logika lebih penting dari data. Asumsi bisa jadi dasar sanksi. Dan klarifikasi dikalahkan jabatan posisi. Bahkan merasa konsolidasi padahal konspirasi sejati.
Seorang yang berilmu akan garang dan kering tanpa kearifan. Akan keras dan kaku tanpa kebijaksanaan. Dan yang lahir hanya kesombongan dan meremehkan orang lain. Sulit menerima masukan dan memaksakan kehendak. Bahkan pada ahirnya pemimpin seperti itu, tak tak arif tak terlihat bijaksana. Ilmu membuatnya salah dalam menafsir. Dan keliru dalam memakai dalil.
“Dan kau lihat seperti wanita yang mengurai benang pintalannya setelah ia pintal berhari-hari… lalu ia pintal kembali…”
Allahu a’lam bishowab.
Dago, 8 Maret 2015
Allahu a’lam bishowab.
Dago, 8 Maret 2015